Dalam beribadah, ibadah wajib sudah tentu harus kita laksanakan dan tidak terlewatkan, karena kita tahu ibadah yang hukumnya wajib artinya mendapat pahala jika mengerjakannya dan akan mendapat dosa jika kita meninggalkannya. Tetapi selain ibadah wajib, kita juga dianjurkan mengerjakan ibadah sunnah, guna untuk menambah pahala dan membuktikan ketakwaan kita kepada Allah dan mengikuti amalan Rasulullah.
Diluar ibadah wajib, rasulullah rajin mengerjakan ibadah sunnah yang beliau pun khawatir ibadah-ibadah sunnah itu dianggap wajib oleh umatnya. Maka dari itu sesekali Rasulullah tidak mengerjakan ibadah sunnah yang merupakan bentuk kearifan beliau. Rasulullah sangat paham dengan kondisi umatnya sehingga tidak mau membenani mereka.
Tetapi ada amalan yang beliau wariskan kepada Abu Hurairah yang dikutip Al Baihaqi dalam kitabnya Fadhail Awqa.
Abu Hurairah berkata, ‘Kekasihku, Muhammad SAW, berwasiat dengan tiga hal, (sholat) witir sebelum tidur, puasa tiga hari di setiap bulan, dan salat dhuha.
Walaupun wasiat itu memang diberikan Rasulullah kepada Abu Hurairah. Namun bukan berarti khusus untuk Abu Hurairah, semua orang bisa mengerjakannya.
1. Shalat witir sebelum tidur
Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As Sa’di mengatakan, “Disunnahkan melakukan witir di awal malam (sebelum tidur) karena dua kondisi:
– Khawatir tidak bisa bangun di akhir malam.
– Melaksanakan qiyam Ramadhan (shalat tarawih) lalu ditutup dengan witir. Yang afdhol memang adalah mengikuti imam mengerjakan witir di awal malam.
Siapa yang ingin melakukan shalat malam, maka ia boleh mengerjakannya tanpa witir lagi. Karena dalam hadits lainnya disebutkan,
لَا وِتْرَانِ فِي لَيْلَةٍ
“Tidak ada dua witir dalam satu malam.“[1] (Syarh ‘Umdatul Ahkam, hal. 364).
Shalat Witir tidaklah memiliki jumlah raka’at tertentu, namun jumlahnya yang paling sedikit adalah satu raka’at, berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
اَلْوِتْرُ رَكْعَةٌ مِنْ آخِرِ اللَّيْلِ.
“Shalat Witir itu satu raka’at di akhir malam.” [HR. Muslim]
Shalat Witir yang paling utama adalah sebelas raka’at, yang dilakukan dua raka’at dua raka’at, dan diganjilkan dengan satu raka’at, berdasarkan ucapan ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma:
كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، يُصَلِّي بِاللَّيْلِ إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً، يُوْتِرُ مِنْهَا بِوَاحِدَةٍ.
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan shalat pada malam hari sebanyak sebelas raka’at dengan meng-ganjilkan di antaranya dengan satu raka’at.”
Dalam satu redaksi diungkapkan:
يُسَلِّمُ بَيْنَ كُلِّ رَكْعَتَيْنِ، وَيُوْتِرُ بِوَاحِدَةٍ.
“Beliau salam di antara setiap dua raka’at dan mengganjilkannya dengan satu raka’at.”
2. Puasa tiga hari di setiap bulan
Dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin Al ‘Ash, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
صَوْمُ ثَلاَثَةِ أَيَّامٍ صَوْمُ الدَّهْرِ كُلِّهِ
“Puasa pada tiga hari setiap bulannya adalah seperti puasa sepanjang tahun.” (HR. Bukhari no. 1979)
Dari Abu Dzar, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda padanya,
يَا أَبَا ذَرٍّ إِذَا صُمْتَ مِنَ الشَّهْرِ ثَلاَثَةَ أَيَّامٍ فَصُمْ ثَلاَثَ عَشْرَةَ وَأَرْبَعَ عَشْرَةَ وَخَمْسَ عَشْرَةَ
“Jika engkau ingin berpuasa tiga hari setiap bulannya, maka berpuasalah pada tanggal 13, 14, dan 15 (dari bulan Hijriyah).” (HR. Tirmidzi no. 761 dan An Nasai no. 2425. Abu ‘Isa Tirmidzi mengatakan bahwa haditsnya hasan).
Dari Ibnu Milhan Al Qoisiy, dari ayahnya, ia berkata,
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَأْمُرُنَا أَنْ نَصُومَ الْبِيضَ ثَلاَثَ عَشْرَةَ وَأَرْبَعَ عَشْرَةَ وَخَمْسَ عَشْرَةَ . وَقَالَ هُنَّ كَهَيْئَةِ الدَّهْرِ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa memerintahkan pada kami untuk berpuasa pada ayyamul bidh yaitu 13, 14 dan 15 (dari bulan Hijriyah).” Dan beliau bersabda, “Puasa ayyamul bidh itu seperti puasa setahun.” (HR. Abu Daud no. 2449 dan An Nasai no. 2434. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)
Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata,
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا يُفْطِرُ أَيَّامَ الْبِيضِ فِي حَضَرٍ وَلَا سَفَرٍ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa berpuasa pada ayyamul biidh ketika tidak bepergian maupun ketika bersafar.” (HR. An Nasai no. 2347. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa sanad hadits ini hasan. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan).
3. Shalat dhuha
Shalat dhuha merupakan amalan yang sangat dianjurkan karena terdapat beberapa keutamaan dalam shalat ini.
Hadis riwayat At Tirmidzi dan Ibnu Majah menyebutkan bahwa, “Siapa yang membiasakan (menjaga) shalat dhuha, dosanya akan diampuni meskipun sebanyak buih di lautan.”
Keutamaan lain dari shalat dhuha yaitu tidak termasuk ke dalam golongan orang lalai dalam mencari rahmat Allah.
“Orang yang mengerjakan shalat dhuha tidak termasuk orang lalai,” (HR Al Baihaqi dan An Nasai)
Shalat dhuha juga memiliki keutamaan termasuk bagian dari sedekah. Dalam hadis riwayat Muslim,
Rasulullah Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Setiap pagi, setiap ruas anggota badan kalian wajib dikeluarkan sedekahnya. Setiap tasbih adalah sedekah, setiap tahmid adalah sedekah, setiap tahlil adalah sedekah, setiap takbir adalah sedekah, menyuruh kepada kebaikan adalah sedekah, dan melarang berbuat munkar adalah sedekah. Semua itu dapat diganti dengan shalat dhuha dua rakaat.”
Waktu sholat dhuha berlangsung beberapa jam, dimulai sejak Matahari terbit (naik) hingga condong ke barat.
Untuk awal waktu sholat dhuha ini dimulai 20 menit setelah Matahari terbit. Ini sesuai dengan keterangan hadis yang diriwayatkan oleh ‘Amr bin ‘Abasah.
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Kerjakanlah shalat subuh kemudian tinggalkanlah shalat hingga matahari terbit, sampai matahari naik. Ketika matahari terbit, ia terbit di antara dua tanduk setan, saat itu orang-orang kafir sedang bersujud (menyembah Matahari).” (HR. Muslim)
Akhir waktu sholat dhuha ini adalah 15 menit sebelum masuk waktu sholat zhuhur.
Namun waktu terbaik atau utama mengerjakan sholat dhuha adalah di waktu yang akhir atau seperempat siang, yaitu dalam keadaan yang semakin panas. Itu sesuai dengan hadis yang diriwayatkan oleh Zaid bin Arqam.
Zaid bin Arqam melihat orang-orang mengerjakan shalat dhuha (di awal pagi). Dia berkata, “Tidakkah mereka mengetahui bahwa shalat di selain waktu ini lebih utama. Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Shalat orang-orang awwabin (taat; kembali pada Allah) adalah ketika anak unta mulai kepanasan’.” (HR. Muslim)